Wednesday, May 4, 2011

a little story

Wahai Yang Maha membolak-balikkan hati…


Malam ini, saya matikan semua lampu. Kamar gelap, hanya seberkas cahaya yang masuk menerangi kamar. Suara-suara dari luar hilang, entah. Sunyi, senyap. Hanya desah kipas angin dan nafas saya yang tertahan-tahan.

Perlahan, saya tekan tombol berbentuk segitiga mengarah ke kanan. Play. Musik mulai. Denging biola. Cello. Flute. Lalu strings menyusul.

Wahai hati, bisik musik kepada saya. Ingatkah kau, pada malam-malam gelap di flat kecil, delapan tahun yang lalu? Saat itu, matamu baru saja terbuka terhadap dunia yang begitu luas, begitu besar.

Serenade, Opus 3, No. 5, Franz Joseph Haydn.

Sydney, 2003.
Kami bertiga (ibu, saya dan Aliya) sering mendaki jalan-jalan berbukit. Hanya untuk sampai ke sekolah, ke kampus ibu, atau ke pusat perbelanjaan, kami sering harus berjalan kaki berkilometer jauhnya. Karena tidak memiliki mobil, dan transportasi umum, bis, sangatlah jarang. Bahkan beberapa tidak beroperasi di hari libur.

Saya sebenarnya sudah lulus saat itu, tetapi ’terpaksa’ harus mengulang kelas enam. Karena SMP tak mau menerima saya di pertengahan semester. Sementara Aliya masih kelas dua. Bukankah perjalanan kami sering sangat melelahkan baginya? Tapi nampaknya ia tak pernah mengeluh. Atau mungkin kami yang sering selalu pintar mencari cara untuk mengalihkan perhatiannya.

Sekitar bulan Oktober kami pindah ke flat itu. Sebenarnya cukup bagi kami bertiga, namun sayangnya hanya ada satu kamar. Tempatnya sering berisik dengan kegiatan akhir pekan tetangga, baik di flat seberang maupun di atas. Kadang-kadang, hingga larut malam kami tak bisa tidur.

Kalau sudah begitu, biasanya kami akan mematikan lampu, merapat senyaman mungkin di atas tempat tidur, dan ibu akan memainkan CD lagu-lagu klasik.

Nocturne, Opus 9, No. 2, Frederic Chopin.

Jemari saya kaku, berusaha meniru gerakan teman saya yang sudah les piano hingga grade 4. Hari itu, saya sudah bisa memainkan Fur Elise meski cukup lambat. Paling tidak saya hapal semua letak jari-jari saya. Saya memainkannya berulang-ulang.

”Ibu, bisakah saya ikut les piano juga?”

Pikir saya, kan ibu sekarang juga sudah menyambi bekerja, menyetrika, dan kami juga mem-baby sitting beberapa anak teman dari Indonesia, pasti kami punya uang lebih dari stypend bulanan Ibu.

Ibu tersenyum sedih. ”Berapa biayanya nak?” tanyanya pendek.

”Kata Kak Sayeeda, lima puluh dolar per jam,” jawab saya takut-takut, tidak berani melepas pandangan dari tuts keyboard.

Meskipun tidak melihat wajahnya, saya tahu ibu mengernyit. ”Mungkin tidak dulu ya sweetheart,” ujarnya sedikit tertahan.

Saya hanya mengangguk. Sebuah nyala yang tadi membara dalam hati, kini padam. Tapi saya hanya diam.

Ini keyboard pinjaman, dari perkumpulan mahasiswa muslim Indonesia. Kami sangat beruntung dipercayai untuk menyimpannya di flat ini. Karena mereka tahu, saya suka memainkannya. Ini pertama kalinya saya berhadapan dengan sebuah keyboard bagus, yang memiliki layar LCD, suaranya tidak cempreng dan memiliki lebih dari seratus macam bunyi dan setting.

Tidak akan ada les piano, bahkan lima puluh dolar terlalu berharga bagi kami sekeluarga. Lima puluh dolar bisa membayar asuransi kesehatan kami sebulan, bisa membelikan saya seragam baru, bisa untuk makan kami dalam seminggu.

Canon in D Major, Johann Pachelbel

Ibu pernah berniat untuk bekerja di restoran juga. Untuk menambah uang makan. Saya pun, masih sering melakukan baby-sitting (ini membuat saya jauh lebih sabar menghadapi anak kecil, bahkan Aliya). Ketika teman-teman keluarga sering jalan-jalan dan berbelanja, kami lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan kota.  Di sana, kami menghabiskan waktu berjam-jam menekuni beratus-ratus buku. Tanpa harus membeli, tanpa harus membayar (kecuali bila terkena denda tentunya).

Flat kecil itu cukup mahal. Biaya sewanya $210/week cukup menguras kantong Ibu. Ini memang standar untuk di sebuah kota seperti Sydney. Tapi kota metropolitan ini memang hampir tak kenal ampun. Belum lagi ternyata flat itu mengalami berbagai masalah. Mulai dari keran bocor, air panas yang tak mengalir, hingga lintah yang merayap keluar dari dinding kamar mandi. Bisa bayangkan?

Di kota ini kami menemukan tempe, tahu, dalam harga yang lumayan. Tapi tak jarang kami menemui gelandangan, pengemis, seperti di Indonesia. Di malam hari, kami sangat jarang keluar karena memang cukup menakutkan.

Setahun setelah kami tinggal di kota itu, kami pindah ke Melbourne. Di sana, kehidupan sama kerasnya. Namun memang biaya hidup jauh lebih ringan. Paling tidak kami bisa membeli baju baru setiap pergantian season. Ini cukup melegakan.

Kalau orang mengatakan, ”Kau pasti bahagia hidup di sana (luar negeri)”. Sering kami tidak tahu harus menjawab apa. Karena sering kami menganggap, bahwa apa yang kami alami, adalah sebuah perjuangan tertentu, yang mungkin tidak akan pernah kami alami di Indonesia. Bahagia? Kami harus berpikir dua kali lebih dulu sebelum mengatakan ’ya’. Bahagia? Apakah sebuah tempat tertentu menjamin kebahagiaan? Satu hal yang kami pelajari, adalah hidup akan menempamu sama kerasnya di manapun kau berada.

Cello Suite No. 1 in G Major (I. Prelude), Johann Sebastian Bach

Malam,
Bayang-bayang semakin tak menentu menerpa ujung ranjang. Desah kipas angin semakin lama semakin pelan...

-Surabaya, Mei 2011.

No comments:

Post a Comment