Tuesday, May 31, 2011

Marah

Explosive anger is just like a nuclear bomb. It devastates the core and slowly recedes any happiness in its surrounding.

Marah adalah sesuatu yang melegakan, di saat-saat awalnya. Marah membuatmu mengeluarkan seluruh kata-kata yang kau inginkan, yang ingin kau lihat dampaknya. Marah membuatmu berani.

Marah memberikanmu ilusi bahwa kau sedang memegang kendali. When, in fact, you are losing it.
Marah membuatmu tak peduli pada apapun di sekitarmu, yang penting kau masih bisa mendengar teriakanmu sendiri, yang penting kau bisa memberikan dampak kepada sekitarmu. Marahmu adalah juga marahnya. Kau bisa membuat orang lain marah karena marahmu.

Marah, berjuta atom energi terkuakkan hanya dalam beberapa detik saja. Lalu, pelan-pelan, tubuhmu mulai menanggung akibatnya.

Melemah, melemah. Energi dalam tubuhmu menguap bersamaan dengan berjuta perasaan lain di sekelilingmu.

Mereda, kekuatanmu tadi. Menjadikanmu kembali lemah, tak berdaya, bukan siapa-siapa.

Tapi aneh, aku tidak menyesal telah marah besar kepadamu...

Friend


#ikea toys

Sunday, May 29, 2011

Have You Ever Thought...

That you had been comparing yourself to the wrong person all this time.

I had been so wrapped up and trusting in you, that i lost my ground. Sound familiar?
I took in everything you told me I should have been. Even when i could never be the same.

Have you ever thought that, maybe you had always been a free bird, while I am a prized bird in a golden cage. We don’t follow the same paths to reach the forest.

My point is, you and I, we are never the same. Just like Emma Pillsbury and Ken Tanaka in Glee, The Thong Song and I Could Have Danced All Night.

“I wanted to talk to you about your wedding mash-up. I’ve been working really hard on it and... I just can’t get those two songs to go together.”
“Yeah, that’s because they don’t. We both know that... They’re both good songs, though.”
“Great ones.”


Yes, great. We are the great ones, people might say. Each one to their own!

There’s been too much not in common between us and not enough understanding. I don’t want you the way you are now, but neither do I want you the way you have been changing lately. The same way you don’t want me.
Mum was right. Too many things we ignored, too many things we imagined about each other that could not work out.

“Finn’s a good guy. He loves me.”
“And you, too. Get out of my house.”

--
“And you were so scared of what he would do if he found out you just pushed it aside like we do every bad feeling in this house. If you don’t talk about it, it doesn’t exist.”

Oh, boy. Funny the things we talk about. Politics, revolution. Big, renowned men. Dreams. But never a single word about accepting each one of us. Oh, sure, you talked about how our differences made life interesting. But what does it mean, when the next day you’re shoving it down my throat what I should be and what I should have done, all in your opinion.

“Now do not turn this on us. You are the disappointment here!”
“Why? Because I’m not a little girl anymore? Because I made a mistake?”
“Who are you? I don’t recognize you at all.”


Oh, yes. I don’t recognise you these days. And maybe, so do you. I’m a disappointment when I don’t keep up with your expectations, right? I used to think that, but not anymore. The prized bird is almost completely blinded when it tries to find its way to the jungle, alone. Sometimes, we’d pass each other along the way (“Welcome to the jungle!” , you’d say). But other times...

“Speaking of getting married, how’s that boy you’ve been dating?”
“Yeah. Yeah. He’s not, uh, pressuring you at all, is he?”
“No. No, he’s a gentleman.”


I wonder if i could ever say the same about you...
Have you ever thought... this all sounds so familiar with your life?

(all conversations taken from episodes of Glee, Season 1).

Wednesday, May 25, 2011

Over Do It And Have A Fit




In a fixated, neurotic kind of way I feel the need to be constantly making these lists or collections of everything that is special to me, or even just relevant. The internet is giving out constant iconic ideas of style and developments everyday day instead of every year, like 50 years ago. I mean it’s moving so fast. I cannot explain myself properly. There is something going on here, but it’s hard to be articulate. I mean that, at the moment, we have everything on demand, as in, we have Google. It’s very easy. We are evolving pretty quickly. Trends are fast. Trends are for the young. I want to be Walden. Nothing I write is any good, I know it, I’m just not smart enough, i don’t have the energy. I don’t really know what I’m doing anymore. I’m so uneven; i don’t give a shit about grammar.

Monday, May 9, 2011

Through the night.

Bercanda, mempercepat langkah. Lidah masih kelu seperti ketika masih di dalam kotak.
Ah, kau ini, pikirku. Masih saja seperti yang dulu. Yang tidak kau sadari mungkin, aku telah berubah.

Berubah, berubah. Setiap kali bertemu dengan orang lain, hampir selalu sama yang mereka tanyakan. ”Penampilanmu berbeda?” tanya mereka.

Dengan ringan saya jawab bahwa semua yang saya kenakan hari itu merupakan pakaian darurat. Artinya yang tak perlu saya cuci atau setrika. Titik. Dan mereka terima, lantas pergi tertawa-tawa.

Berubah. Bukan hal yang mudah. Lebih mudah untuk diam menatap lantai, meneliti ke mana kakimu melangkah, meskipun kau telah hafal benar jalan yang kau tempuh.

Kembali kepada malam.
Hampir terbang, hampir berlari, menuju tanggung jawab satu lagi yang telah menanti. Apakah seluruh hidupku aku akan seperti ini?

Adzan berkumandang. Berhenti sejenak, ia memanggil. Berhenti, dan kembalilah ke masjid.

Ironis, aku malah menggeleng. Oh Tuhan, maafkan aku malam ini. Adakah engkau akan menerimanya, seperti berjuta-juta kali sebelumnya?

Terserah, ia berkata. Aku akan ke sana sendiri.. Dan ia mulai menghilang.
photo taken from http://www.artsjournal.com/tobias/MOR_7712%20Cr%20Dean%20Buscherr.jpg

Di malam yang hangat, ada sesuatu yang menyesakkan, membuat desah nafas tak selega biasanya. Angin tidak berhembus, bayang-bayang kelam terus mengikuti dari segala arah.

Oh Tuhan, aku butuh engkau malam ini. Bukan dia atau mereka. Akankah kau masih mau menerimaku? Dear me, surga is not an impossible dream... but we must earn it in every way we can...

inside the lift

Sekali lagi, di dalam kotak kecil itu.

Tubuh menjerit seolah-olah hendak melepaskan diri dari jerat kesunyian yang mengungkung. Sabar, sabar, bisikku padaku sendiri. Kuketuk-ketukkan kakiku ke lantai yang kusam, kutundukkan kepalaku. Diam-diam, aku menghitung detik-detik yang berlalu. Butuh sekitar 45 detik bagi kotak ini untuk turun enam level menuju lantai dasar.

Aku benci kesunyian seperti itu. Apalagi dalam sebuah kotak yang begitu sempit. Apalagi bila ada orang lain yang bersamaku.

Sunyi. Kotak itu tidak kedap suara, tapi tetap saja kesannya sunyi. Meskipun aku tahu, setiap kali pembicaraan kita bisa saja terdengar dari manapun di luar casing beton kotak ini.

Tapi bukan karena itu. Biasanya pun, aku adalah orang yang paling tidak peduli untuk berbicara di manapun. Entah kenapa, hari-hari ini lidahku serasa kelu. Tidak bisa mengeluarkan kata-kata, meskipun mereka telah bertengger di ujung nafas.

Detik, detik dan detik. Suara kami mengambang di udara. Terucapkan sekedar mengisi kekosongan. Kemudian, hilang.

Wednesday, May 4, 2011

a little story

Wahai Yang Maha membolak-balikkan hati…


Malam ini, saya matikan semua lampu. Kamar gelap, hanya seberkas cahaya yang masuk menerangi kamar. Suara-suara dari luar hilang, entah. Sunyi, senyap. Hanya desah kipas angin dan nafas saya yang tertahan-tahan.

Perlahan, saya tekan tombol berbentuk segitiga mengarah ke kanan. Play. Musik mulai. Denging biola. Cello. Flute. Lalu strings menyusul.

Wahai hati, bisik musik kepada saya. Ingatkah kau, pada malam-malam gelap di flat kecil, delapan tahun yang lalu? Saat itu, matamu baru saja terbuka terhadap dunia yang begitu luas, begitu besar.

Serenade, Opus 3, No. 5, Franz Joseph Haydn.

Sydney, 2003.
Kami bertiga (ibu, saya dan Aliya) sering mendaki jalan-jalan berbukit. Hanya untuk sampai ke sekolah, ke kampus ibu, atau ke pusat perbelanjaan, kami sering harus berjalan kaki berkilometer jauhnya. Karena tidak memiliki mobil, dan transportasi umum, bis, sangatlah jarang. Bahkan beberapa tidak beroperasi di hari libur.

Saya sebenarnya sudah lulus saat itu, tetapi ’terpaksa’ harus mengulang kelas enam. Karena SMP tak mau menerima saya di pertengahan semester. Sementara Aliya masih kelas dua. Bukankah perjalanan kami sering sangat melelahkan baginya? Tapi nampaknya ia tak pernah mengeluh. Atau mungkin kami yang sering selalu pintar mencari cara untuk mengalihkan perhatiannya.

Sekitar bulan Oktober kami pindah ke flat itu. Sebenarnya cukup bagi kami bertiga, namun sayangnya hanya ada satu kamar. Tempatnya sering berisik dengan kegiatan akhir pekan tetangga, baik di flat seberang maupun di atas. Kadang-kadang, hingga larut malam kami tak bisa tidur.

Kalau sudah begitu, biasanya kami akan mematikan lampu, merapat senyaman mungkin di atas tempat tidur, dan ibu akan memainkan CD lagu-lagu klasik.

Nocturne, Opus 9, No. 2, Frederic Chopin.

Jemari saya kaku, berusaha meniru gerakan teman saya yang sudah les piano hingga grade 4. Hari itu, saya sudah bisa memainkan Fur Elise meski cukup lambat. Paling tidak saya hapal semua letak jari-jari saya. Saya memainkannya berulang-ulang.

”Ibu, bisakah saya ikut les piano juga?”

Pikir saya, kan ibu sekarang juga sudah menyambi bekerja, menyetrika, dan kami juga mem-baby sitting beberapa anak teman dari Indonesia, pasti kami punya uang lebih dari stypend bulanan Ibu.

Ibu tersenyum sedih. ”Berapa biayanya nak?” tanyanya pendek.

”Kata Kak Sayeeda, lima puluh dolar per jam,” jawab saya takut-takut, tidak berani melepas pandangan dari tuts keyboard.

Meskipun tidak melihat wajahnya, saya tahu ibu mengernyit. ”Mungkin tidak dulu ya sweetheart,” ujarnya sedikit tertahan.

Saya hanya mengangguk. Sebuah nyala yang tadi membara dalam hati, kini padam. Tapi saya hanya diam.

Ini keyboard pinjaman, dari perkumpulan mahasiswa muslim Indonesia. Kami sangat beruntung dipercayai untuk menyimpannya di flat ini. Karena mereka tahu, saya suka memainkannya. Ini pertama kalinya saya berhadapan dengan sebuah keyboard bagus, yang memiliki layar LCD, suaranya tidak cempreng dan memiliki lebih dari seratus macam bunyi dan setting.

Tidak akan ada les piano, bahkan lima puluh dolar terlalu berharga bagi kami sekeluarga. Lima puluh dolar bisa membayar asuransi kesehatan kami sebulan, bisa membelikan saya seragam baru, bisa untuk makan kami dalam seminggu.

Canon in D Major, Johann Pachelbel

Ibu pernah berniat untuk bekerja di restoran juga. Untuk menambah uang makan. Saya pun, masih sering melakukan baby-sitting (ini membuat saya jauh lebih sabar menghadapi anak kecil, bahkan Aliya). Ketika teman-teman keluarga sering jalan-jalan dan berbelanja, kami lebih sering menghabiskan waktu di perpustakaan kota.  Di sana, kami menghabiskan waktu berjam-jam menekuni beratus-ratus buku. Tanpa harus membeli, tanpa harus membayar (kecuali bila terkena denda tentunya).

Flat kecil itu cukup mahal. Biaya sewanya $210/week cukup menguras kantong Ibu. Ini memang standar untuk di sebuah kota seperti Sydney. Tapi kota metropolitan ini memang hampir tak kenal ampun. Belum lagi ternyata flat itu mengalami berbagai masalah. Mulai dari keran bocor, air panas yang tak mengalir, hingga lintah yang merayap keluar dari dinding kamar mandi. Bisa bayangkan?

Di kota ini kami menemukan tempe, tahu, dalam harga yang lumayan. Tapi tak jarang kami menemui gelandangan, pengemis, seperti di Indonesia. Di malam hari, kami sangat jarang keluar karena memang cukup menakutkan.

Setahun setelah kami tinggal di kota itu, kami pindah ke Melbourne. Di sana, kehidupan sama kerasnya. Namun memang biaya hidup jauh lebih ringan. Paling tidak kami bisa membeli baju baru setiap pergantian season. Ini cukup melegakan.

Kalau orang mengatakan, ”Kau pasti bahagia hidup di sana (luar negeri)”. Sering kami tidak tahu harus menjawab apa. Karena sering kami menganggap, bahwa apa yang kami alami, adalah sebuah perjuangan tertentu, yang mungkin tidak akan pernah kami alami di Indonesia. Bahagia? Kami harus berpikir dua kali lebih dulu sebelum mengatakan ’ya’. Bahagia? Apakah sebuah tempat tertentu menjamin kebahagiaan? Satu hal yang kami pelajari, adalah hidup akan menempamu sama kerasnya di manapun kau berada.

Cello Suite No. 1 in G Major (I. Prelude), Johann Sebastian Bach

Malam,
Bayang-bayang semakin tak menentu menerpa ujung ranjang. Desah kipas angin semakin lama semakin pelan...

-Surabaya, Mei 2011.

Tuesday, May 3, 2011

Private Line

I wanna be on a private line with you.
Connect me, don’t disconnect. Put on hold if you must
For a second or two. Then connect us again.

Even when the time’s ticking and my credit’s running out
Don’t stop, keep going, cause
I’m enjoying my private line with you.

Even when I hear that beep,
Don’t let me hear that silence, from the other end of you.
Don’t stop till they cut you off.

I wanna be on a private line with you.
Where nobody enters, nobody bothers. Cheer me up,
Make my day, even just for three, four seconds.

Put on hold if you must, but
Don’t ever stop till they cut you off.